25 Oktober
2009
Sisi satu, “
Aku akan sms dia, dia yang udah sakitin aku terdahulu. I have the new one. Better than him!”
Sisi dua, “Buat
apa? Ngaruhnya apa? Emang dia bakal terpengaruh?”
“Harus! Dia
harus terpengaruh. Aku mau dia nyesel karena ninggalin aku!”
“Enggak ada
gunanya, dia sayang banget sama pacarnya sekarang. Dia udah lupain kamu.”
“Enggak! Dia
gak akan lupain aku!”
“Kamu hanya
tidak bisa menerima kenyataan, Amrita.”
“Kenyataan
apa?”
“Kenyataan
bahwa dia sudah bahagia dengan yang lain, kenyataan bahwa kamu sudah menjadi
bagian yang terlupakan.”
“Dia engga
bakal lupain aku, Amrita!”
Message sent
10 minutes left
20 minutes left
“Dia tidak
membalas sms-ku. “
“Memang kamu
mengharap balasan seperti apa?”
“Dia enggak
bales, pasti dia desperate sampe
kehilangan kata untuk membalas sms-ku. Lihatlah, betapa seorang Amrita tidak
terlupakan! Hahaha
“Atau
mungkin dia sudah terlalu malas berhubungan denganmu karena terlalu bahagia
dengan kekasih barunya?”
“Tidak
mungkin!”
“Kalaupun
dia membalas, pasti kamu juga akan berperasangka buruk tentangnya, memenuhi apa
yang jadi keinginanmu.”
Message received
“Dia
membalas! Apa aku bilang, dia masih peduli denganku. Lihatlah, betapa seorang
Amrita tidak tergantikan! Hahaha” Teriak sisi satu lantang
Sisi dua
hanya mendesah
3 November
2009
“Hey,
Amrita! Lihat! Ini kekasih baru dia! Tidak lebih cantik dariku ternyata.” Ucap
sisi satu setengah berteriak.
“Entahlah,
aku malas berkomentar.”
“Kau dan aku
sama cantiknya, jadi dia juga tidak lebih cantik darimu, Amrita.”
8 November
2009
Sisi dua
melihat gelagat aneh sisi satu, “Kamu sms dia lagi?”
“Iya. Kasian
aja, mungkin dia rindu aku namun tidak berani sms duluan karena takut dimarahin
pacar barunya. Jadi biar aku aja yang terlihat jelek. Aku rela kok.”
“Kamu yang
rindu padanya, bukan?” sindir sisi dua.
“Ngapain aku
rindu dia?”
“Iya, bahkan
dia tidak merindumu.”
“Sok tau!”
“Berhentilah,
dia sudah menyatakan bahwa dia tidak ingin kamu ganggu-ganggu lagi!”
“Dia hanya
takut pada kekasih barunya. Lagi pula aku hanya ingin berteman dengannya, tidak
lebih. Salah?”
“Munafik!
Kamu masih ingin lebih dari sekedar teman dengannya.”
“Sok tau!”
“Lihat foto
profil baru dia, mereka nampak bahagia.”
“Hah!
Paling juga untuk bikin aku cemburu. Trik murahan.” Sisi satu mendengus.
23 November
2009
“Masih saja
kamu buka profil dia dan kekasihnya. Apa yang kamu cari.”
“Iseng.”
“Menulis
status sindiran untuk mereka itu juga iseng?”
“Mana deh
status yang menyindir mereka? Sok tau kamu!”
“Berhenti memanggilku sok tau! Aku ini cerminan
tubuhmu, jadi aku paling tahu apa yang ada di hatimu, di otakmu! Dan
berhentilah menjadi munafik!”
“Siapa yang
munafik!”
“Kamu,
Amrita!
“Aku tidak
munafik! Aku hanya...” sisi satu kehabisan kata.
“Hanya apa?
Hanya tidak mampu menerima kenyataan bahwa dia lebih bahagia dengan wanita lain
dibanding denganmu?”
“Dia tidak
bahagia dengan wanita itu! Hanya aku yang mampu membahagiakannya!”
“Mimpi! Tataplah
kenyataan! Betapa bahagia pasangan itu!”
“Itu
kamuflase!”
“Untuk apa?
Mencari perhatianmu? Memangnya dunia ini hanya berpusat pada kamu, kamu, dan
kamu?!”
Sisi satu
mengambil telepon genggamnya.
“Oh
sudahlah, berhentilah meminta belas kasih orang lain dengan status-status
galaumu di halaman status media-mu. Bukan dia yang menyakitimu, kamu yang menyakiti
dirimu sendiri!” ujar sisi dua penuh dengan kemuakan.
“Tidak
seharusnya dia mencintai wanita lain.” Ucap sisi satu setengah berbisik.
“Bukannya
kamu juga sudah mencintai dan memiliki lelaki lain? Lalu di mana letak
kesalahan dia?”
“Dia hanya
boleh mencintaiku!”
“Dan kamu
boleh mencintai siapa pun? Berapa pun jumlahnya? Egois! Berhentilah merasa
bahwa kamu adalah segalanya, Amrita! Dan berhentilah melihat kenyataan sesuai
dengan apa yang kamu inginkan!”
Sisi satu
menangis.
“Oh,
berhentilah menangis, Amrita. Tidak ada orang yang akan mengiba melihatmu
berderai air mata buaya itu. Di sini hanya ada aku dan kamu!”
“Dia wanita
jalang!”
“Kalau dia
jalang, lalu aku harus memanggilmu apa, sebagai wanita yang mengganggu hubungan
orang lain?”
“Berhentilah
membela mereka!”
“Aku
hanyalah separuh dari dirimu yang masih sehat, karena setengah dirimu yang lain
telah dikuasai oleh pemikiran gila yang entah datang dari mana.”
“Dia
milikku...” lirih sisi satu berucap.
“Relakan
dia, Amrita. Kebencian hanya membuatmu lelah.”
“Dia masih
mencintaiku, Amrita.”
“Tidak
lagi, Amrita. Cintanya padamu sudah lama kandas. Tataplah kenyataan dengan
lapang dada...”
Amrita
sekali lagi menatap bayang tubuhnya pada cermin di dalam kamarnya. Ia menghapus
sisa air mata, tersenyum tanpa makna, lalu pergi...
Thanks to:
Sosok ‘Amrita’ yang kemaren sempet bikin gue jengeh, tapi yaudah lah let the world know who you are. ;)
gambar diambil dari sini
2 comments:
nice story darl....
thanks :)
Post a Comment