May 29, 2011

Panca Indera

aku berusaha lepas dari jerat pikatmu
namun kekangmu lebih kuat dari apapun
tak mampu aku mengingkari keindahan yang melekat padamu
panca indera pun tak ada luput merasakan indahnya dirimu.

mataku, berpendar menatapmu ada di hadapku,
sinar yang terpancar dari wajahmu, tanganmu, kakimu,
mereka menyegarkan.

hidungku, tersusup aroma sejuk bak aromaterapi,
rambut dan tubuhmu mengeluarkan aroma yang menjadi canduku,
wewangian itu membuatku tak ingin jauh dari pemiliknya.
mereka menenangkan.

telingaku, terbuai dengan suara yang bersumber darimu,
celotehmu, tawamu, desahan napasmu, degub jantungmu,
mereka menghanyutkan.

kulitku, tergores lembut dengan milikmu,
jengkal demi jengkal menggelitik manja lewat sentuhanmu,
mereka menggoda.

lidahku, menjawab segala penantian,
ketika bibirmu memberikan rasa manis pada bibirku,
mereka menggairahkan.

bila hati adalah indera ke enam,
maka ia pun terkontaminasi,
jahilnya hatimu mengonyak pertahananku,
mereka menaklukanku.

aku berusaha lepas dari jerat pikatmu,
namun kekang kenangmu lebih kuat dari apapun,
tolong lepaskan ikat simpul mati pada hatiku yang tertambat padamu,
aku kian tersiksa.

May 28, 2011

Cuma Kangen

Kangen itu engga dosa kan?
kalau kangen itu dosa, betapa aku telah menjadi seorang pendosa besar.
Setiap detik aku arungi hidup dengan kangen yang menggebu padanya.

Kangen.
Satu kata sederhana.
Satu impian rumit untuk menjadi nyata.

Jangan katakan kalau kangen itu dosa!
Jika kangen itu dosa, lalu dengan apa aku harus menghiasi jarak yang membentang?
Setiap satu langkah jarak kita terbentang, seribu kangen aku tebarkan.

Kangen.
Aku berbisik dalam lara.
Semoga ia mendengar.

Siapa bilang kangen itu dosa?
Bila kangen itu dosa, alasan apa yang akan aku gunakan untuk sekedar memandangnya.
Setiap ia ada, aku tak mampu memalingkan mata darinya.

Kangen.
Kata terindah meski tak terdengar.
Wujud manis meski tak nampak.
Pelukan hangat meski tak tersentuh.
Tangisan pilu meski tak berurai air mata.

Kangen itu engga dosa kan?

May 16, 2011

Simphony

Simfoni yang tak pernah kekal,
Simfoni yang tak pernah dikenal,
Simfoni yang tak pernah terdengar,
Simfoni yang tak pernah dinyanyikan,
Simfoni yang tak pernah bermelodi,
Simfoni yang tak pernah terbaca,
Simfoni yang tak pernah tertuliskan,
Simfoni yang tak pernah terimajinasikan,
Simfoni yang tak pernah terpikirkan,
Simfoni yang tak pernah ada.
Simfoni itu...

Sepenggal surat

Dari balik tembok itu aku dapat melihatmu, kamu yang serius menatap layar komputer di depanmu. Pasti kau sedang asik dengan dunia maya yang selalu menjadi hiburanmu. Dari balik tembok aku menyaksikan, kau sedang mengenakan kaus putih dan celana pendek kesayanganmu lengkap dengan posisi dudukmu yang istimewa. Di balik tembok, hanya sebesar itu keberanianku.

Melalui pria di televisi itu aku menerawang, senyummu yang selalu mampu melumpuhkan hatiku. Hanya kotak ajaib yang menyajikan gambar bergerak itu yang membantuku berimaji kau disisiku. Apa? Menatap matamu langsung, bisa pingsan aku.

Aku akan hadir di depanmu, namun bukan selayaknya aku. Kau tidak akan pernah tahu, siapa aku. Tunggu. Bukankah memang kamu benar-benar tidak pernah tahu tentang aku maupun keberadaanku di dunia ini. Jadi, apakah tidak masalah jika aku muncul dengan sebenarnya aku? Meski aku sendiri tidak yakin, dengan keberanian yang ku punya.

Aku ingat, aku pernah muncul dihadapanmu, sekali. Waktu itu kau membantuku. Tapi, bukankah kalau seperti itu artinya kau yang muncul dihadapanku? Ah, peduli amat dengan formalitas siapa yang muncul lebih dulu. Yang lebih penting, kau pernah melihatku bahkan membantuku. Namun, apa kau mengingatnya? Bahkan mungkin kau tak ingat namaku siapa. Aku pun tak berniat untuk menanyakannya padamu.


Bahkan aku hanya berani menulis tentangmu, hanya sampai sini. Titik.


  ttd,
aku.

May 15, 2011

Pilihan

“Sudahlah nduk, apa yang kamu harapkan dari Okta?”
Pertanyaan yang selalu membuat Indi menghela napas lebih dalam. Orang tua-nya tidak henti mengumandangkan pertanyaan itu selama Indi berada di rumah. Ia sengaja mengambil cuti beberapa hari untuk meredam ketegangan yang berakar pada hati. Rumah Indi jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, sunyinya melebihi diskotik di siang bolong, tenangnya melampaui daun yang tak tertiup angin. Jalan setapak yang mungil terasa lengang, tidak ada kemacetan. Udara yang dihirup begitu segar, sangat minim polusi. Pemandangan yang terbentang hanya sawah dengan oranng-orangan sawah yang menjaga, bukan penjajah tubuh di pinggir jalanan kota. Hiburan lain yang membuat Indi tak ingin meninggalkan desa kelahirannya adalah ketika malam menjelang. Melihat bintang yang bebas bersinar, karena tidak ada lampu jalanan yang menyaingi sinarnya. Bahkan sejak kecil ia biasa berlomba menghitung bintang dengan Arin, kakak laki-lakinya. Berkejar-kejaran dengan kunang-kunang, kelap-kelip cahayanya membuat Indi gemas. Suara jangkrik, katak, gemericik daun, desauan angin, gantungan bambu pada pintu rumah Indi, bagaikan orkestra tengah malam yang bahkan suaranya lebih indah dari orkestra milik Erwin Gutawa sekalipun.  Indi berharap hatinya mendapatkan semacam pencerahan saat ia kembali ke kota tempat ia meniti karir, kota tempat ia bertemu dengan lelaki yang ia sayang, Okta.

Still Missing You

Duduk di atas pasir putih yang lembut membuatku enggan beranjak dari posisiku. Sesekali ombak datang menghampiri, seakan mengajakku bermain air bersamanya. Pasir dan ombak ini mengingatkanku padamu. Melamunkanmu tak kan ada habisnya, tak kan ada jenuhnya.

Ingatkah kamu, saat kita membangun istana pasir bersama, kamu berkata bahwa kelak kita akan mempunyai istana nan megah seperti itu. Kamu berjanji, kamu sendiri yang akan membangunnya. Lalu aku yang akan mewarnai dinding istana itu. Bersama kita menata ruang demi ruang. Aku pun masih mengingat jelas, betapa aku kesal dengan ombak yang meratakan istana pasir yang kita buat. Aku menyalahkan ombak. Ombak itu jahat. Lalu dengan sabar kamu menatap mataku serambi meletakkan kedua tanganmu di pipiku, mengusap perlahan dan berkata, “Mungkin memang ombak yang menghancurkan, namun tak boleh kita semata-mata menyalahkan ombak. Mungkin kesalahan memang dari kita, yang membangun istana ini terlalu dekat dengan garis pantai. Jangan marah sama ombak ya...”

Bila Kau Mengerti

Lelah kaki ini berjalan mengikuti langkah kecilmu. Entah apa yang membuatmu lama memutuskan barang mana yang ingin kamu beli. Setiap toko kamu masuki, setiap karyawan kamu tanyai, tak juga ada yang cocok denganmu.

“Ini gak cocok buat aku.” Selalu itu yang menjadi alasanmu. Lalu dengan cepat kamu akan berpaling ke toko lain.

Aku memang bosan, tapi ada satu alasan yang menutup mulutku untuk tak mengatakannya padamu. Memerhatikan rambut panjangmu yang terombang-ambing setiap langkah kaki yang kamu pijakan, melihatmu cemberut saat barang yang diambilkan pramu niaga itu tak cocok dengan imajinasimu, mendengar ocehanmu yang terus bercerita tentang berbagai hal. Dan moment jalan-jalan denganmu berdua, adalah hal yang langka terjadi. Alasan-alasan itu cukup untuk membungkam mulutku agar tak berujar, “Aku bosan! Ayo kita pulang!” Kalaupun aku kalimat itu benar-benar keluar dari mulutku, itu tidak akan merubah keputusanmu untuk mendapatkan apa yang kamu mau. Apapun caranya.