May 15, 2011

Pilihan

“Sudahlah nduk, apa yang kamu harapkan dari Okta?”
Pertanyaan yang selalu membuat Indi menghela napas lebih dalam. Orang tua-nya tidak henti mengumandangkan pertanyaan itu selama Indi berada di rumah. Ia sengaja mengambil cuti beberapa hari untuk meredam ketegangan yang berakar pada hati. Rumah Indi jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, sunyinya melebihi diskotik di siang bolong, tenangnya melampaui daun yang tak tertiup angin. Jalan setapak yang mungil terasa lengang, tidak ada kemacetan. Udara yang dihirup begitu segar, sangat minim polusi. Pemandangan yang terbentang hanya sawah dengan oranng-orangan sawah yang menjaga, bukan penjajah tubuh di pinggir jalanan kota. Hiburan lain yang membuat Indi tak ingin meninggalkan desa kelahirannya adalah ketika malam menjelang. Melihat bintang yang bebas bersinar, karena tidak ada lampu jalanan yang menyaingi sinarnya. Bahkan sejak kecil ia biasa berlomba menghitung bintang dengan Arin, kakak laki-lakinya. Berkejar-kejaran dengan kunang-kunang, kelap-kelip cahayanya membuat Indi gemas. Suara jangkrik, katak, gemericik daun, desauan angin, gantungan bambu pada pintu rumah Indi, bagaikan orkestra tengah malam yang bahkan suaranya lebih indah dari orkestra milik Erwin Gutawa sekalipun.  Indi berharap hatinya mendapatkan semacam pencerahan saat ia kembali ke kota tempat ia meniti karir, kota tempat ia bertemu dengan lelaki yang ia sayang, Okta.

Rupanya menenangkan diri di rumah orang tua adalah keputusan yang salah. Cerita yang mengalir dari mulut Indi disalah-artikan orang tuanya, mereka menduga lelaki yang dipilih putrinya tidak mampu membuat lukisan tawa di wajah putri kebanggaanya itu. Orang tua Indi juga sama dengan orang tua kebanyakan yang tak mampu melihat anaknya tidak bahagia meski itu jalan yang telah dipilihnya sendiri. Sebagai orang tua, mereka hanya ingin memberikan yang terbaik kepada putra-putrinya meski terkadang yang mereka berikan melebihi apa yang kita butuhkan, bahkan berlebihan.  

Bapak ibu Indi tidak pernah tahu, betapa Indi berharap banyak pada Okta. Jika pun harus ada lelaki selain Okta yang hadir, entah lelaki itu akan mendapat apa. Seluruh cintanya telah ia berikan pada Okta, menyisakan setetes pun tidak.

 “Apa yang membuatmu berat melepaskan dia? Bahkan tampaknya ia tidak lagi peduli dengan usahamu untuk tetap bersamanya.”
Ibunya benar, Okta saat ini memang tak nampak peduli dengan hubungan cintanya yang semakin memburuk, ia terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Hampir setiap hari Indi mengakhiri harinya dengan helaan napas yang berat, seberat beban pikiran dan hatinya. Bahkan Okta tidak pernah menyadari bahwa hampir di setiap malam ada wanita yang selalu terluka atas sikapnya.  Wanita yang tidak pernah berhenti mencintainya layaknya waktu yang tidak pernah berhenti berjalan.

Hujaman luka yang Okta berikan tidak berhenti, meski Okta melakukannya tanpa sadar. Tanpa ia sadari yang ia kerjakan hanyalah bagaimana cara menyenangkan bos besar dan orang tua, namun ia tidak pernah berhasil menyenangkan kekasihnya, Indi. Bahkan ia sendiri mulai melupakan apa yang bisa membuatnya bahagia. Semua yang ia kerjakan semata-mata untuk kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain yang terinternalisasi dalam dirinya sehingga ia merasa itu semua menjadi kepentingannya juga. Ia mengira Indi akan mengerti dengan posisinya saat ini, yang tidak mungkin menangkis tugas yang diberikan bos kantornya atau membantah perintah orang tuanya. “Bukankah cinta selalu bisa mengerti?” batin Okta.

Indi hanya bisa menjawab dalam hati “Mas Okta bukan tidak lagi mencintaiku, hanya saja ia mungkin lupa bagaimana mengungkapkanya.” kepada wanita yang rambutnya sudah mulai memutih dan wajahnya mulai berkeriput, namun bibirnya kelu tak mampu menjawab. Yang Indi bisa lakukan hanya tertunduk, selain karena Indi sangat menghormati ibunya juga karena ia merasa tidak punya kekuatan apa-apa untuk mempertahankan pendapatnya jika nantinya sang ibu menjejali kedua telinganya dengan sanggahan-sanggahan lain dari sang ibu.

“Pilihan hati? Jangan hanya menggunakan hati, tapi pakai kedua sisi otakmu, nduk.”
Dalam satu hari ada dua puluh empat jam, ada seribu empat ratus empat puluh menit. Tidak banyak waktu yang Indi inginkan, hanya sepuluh menit dari seribu empat ratus empat puluh menit waktu yang dimiliki Okta dalam sehari untuk bercengkerama, saling berbicara dan saling mendengar. Dan sepertinya keinginan Indi masih jauh dari nyata. Untuk mengucapkan salam di pagi hari pun tidak. “Maaf sayang, kerjaan di kantor bikin aku sibuk dan engga sempat sms kamu.” Alasan yang tidak pernah berubah dari hari ke hari. Indi mulai bosan mendengar alasan Okta, tapi Indi tidak lalu menutup telinga dari alasan itu, karena hanya dengan alasan itu Indi menjadi bisa mendengar suara kekasihnya. Telinganya saja tidak ingin kehilangan suara itu, apalagi hatinya.

Pernah sekali Indi berusaha dan mencoba membuat keputusan besar dalam hidupnya, meninggalkan Okta. Dan sekali itu pula ada yang berteriak tepat di daun telinganya. Jangan! Meski ia hanya seorang diri dalam ruang kamarnya. Ia berusaha mencari asal suara itu, namun yang ia temukan hanya diam kecuali detik jam yang berdetak. Jika dipikirkan lagi memang terlalu banyak waktu yang ia korbankan jika ia melepaskan Okta, 6 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah hubungan. Sudah banyak lukisan yang mereka torehkan dalam dinding-dinding rumah imajinasi mereka. Masih banyak cita yang mereka ingin raih, bersama. Berdua. Indi bertahan dengan Okta juga karena kedua otaknya masih memihak keberadaan Okta di sisi Indi.

“Kalau dia lelaki baik, tentu tidak akan memfitnah keluarga kita.”
Orang tua Indi tidak salah dengan menentang hubungan putrinya dengan lelaki bernama Okta. Keluarga besar Okta yang lebih dulu tidak menyetujui hubungannya dengan Indi. Keluarga Okta menganggap Indi tidak terlalu cantik untuk menjadi pendamping hidupnya. “Okta tidak memilih karena fisik saja, tetapi juga hati.” Pernah Okta menjawab demikian, namun keluarganya seperti tidak mendengar penjelasan Okta, mereka justru semakin menyudutkan Okta dengan menjelek-jelekan Indi.

Mereka bilang, bahwa menurut primbon jawa yang mereka anut Okta dan Indi tidak akan berjodoh karena letak rumah Indi yang tidak cocok, dan apabila mereka tetap memaksakan kehendak untuk membaur dalam tali pernikahan akan berkibat fatal dengan orang tua Okta. Keluarga Okta sangat akrab dengan dunia kejawen, primbon sudah seperti buku saku yang siap dikeluarkan kapan saja dan dimana saja. Agama Okta memang kuat tapi mereka tetap tidak bisa melepaskan dunia kejawen yang sudah mengakar dari buyut-buyut mereka. Okta berusaha keras untuk tidak terlarut dalam tetek bengek dunia kejawen, tapi orang tua-nya seperti siap mengibarkan bendera perang jika Okta menolak apa yang mereka ingini. Okta gentar.

Pernah suatu waktu orang tua Okta berkata, “Bapak ibu sebetulnya tidak menyangka kalau nak Indi menggukan ilmu pelet dan susuk untuk membuatmu tetap ada di sampingnya.” Air mata Indi meleleh dengan derasnya, tubuhnya bergucang hebat. Indi tidak pernah menyangka bahwa calon mertuanya tega mengatakan demikian. “Aku masih cukup waras untuk tidak mempercayai hal hina itu, apalagi melakukannya.” Berusaha Indi berbicara meski dengan suara yang parau. Okta menunjukkan sikap prihatin sekaligus bersalahnya sekaligus, ia paling tidak bisa melihat wanita yang dicintainya menangis, tetapi ia juga tidak bisa menghapus air mata Indi. Ia seperti sudah lupa bagaimana caranya.

“Pikirkan kembali tentang hubunganmu dengan Okta, nduk.”
Seperti tersambar petir di siang hari ketika Indi menceritakan apa yang orang tua Okta katakan tentangnya. Bukan maksud Indi untuk mengadu domba, bukan ingin Indi membuat geram orang tuanya, ia hanya seorang wanita yang tidak tahu lagi kemana ia bisa berbagi cerita. Selama ini hanya orang tuannya yang mau menghargai segala uneg-uneg yang diutarakan putrinya.

Memang tidak ada raut geram pada wajah orang tuanya saat Indi bercerita, yang ada hanyalah wajah teduh sang ibu yang membelai lembut hati Indi meski raga tidak saling menyentuh. Tidak ada yang kata yang keluar dari mulut sang ibu, kecuali “Sing sabar nggih cah ayu. Gusti Allah mboten nate sare.” Senyum sang ibu tergambar begitu jelas dan menenangkan Indi, meski Indi tidak melihatnya dengan langsung, namun ia bisa membayangkannya. Indi menjadi tenang. Ia tidur dengan lelap di rumah kontrakannya.

 “Apa yang kamu bisa pertahankan dari Okta, nduk?”
Okta telah banyak memberi hiasan pada dinding hati Indi, dari lukisan mosaik, gambar abstrak, lampu dinding semua tertata indah di dalamnya. Indi tidak bisa melepaskannya begitu saja. Begitu pula Okta, ia menjanjikan cinta yang begitu indah untuk Indi. Namun sepertinya orang tua Indi maupun Okta belum mampu memahami itu. Orang tua Okta masih sibuk berkutat dengan dunia kejawennya, sementara orang tua Indi masih berusaha untuk memberikan kebahagiaan lain untuk putrinya dengan menghadirkan lelaki lain, Gio.

Ada pepatah mengatakan, bila seorang anak terjatuh maka ibunya lah yang sesungguhnya berdarah. Orang tua Indi sudah terlanjur hancur melihat putrinya terluka, menganggap Okta tidak lagi mampu mengulas senyum apalagi tawa pada Indi. Tanpa sepengetahuan Indi, orang tuanya membuat kesepakatan dengan pihak lain, Indi akan dijodohkan dengan Gio, putra sahabat sang bapak.

Kepulangannya kali ini benar-benar langkah yang salah, ia tidak mendapat ketenangan, justru ketegangan semakin memuncak. Permintaan orang tuanya yang mungkin hanya satu, namun memberi pikulan beban sepuluh kali lipat dari beban pekerjaannya yang menghimpit. Belum lagi kondisi hubungannya dengan Okta yang tidak membaik meski cintanya pada Okta tidak pernah memburuk.

Di sudut kamar itu, Indi terpekur sendiri. Meratapi semuanya, otaknya tidak mampu lagi berpikir, hatinya seperti sudah mati rasa. Okta orang yang sangat ia cintai sekaligus orang yang paling kerap melukai hatinya. Gio pilihan orang tuanya namun cinta tak sedikitpun menoleh padanya.

6 comments:

Anonymous said...

bagussssss....:')
lanjutin klimaksnya gmn??..

Kanaya Martadjie said...

nanti, nunggu inspirasi.
nunggu artis aslinya bikin keputusan besar :p

Anonymous said...

tanya artisnya dong..sudah ada perkembangan blm..cepat2..:)

Anonymous said...

tanya artisnya dong..sudah ada perkembangan blm..cepat2..:)

Anonymous said...

semogaakhir ceritanya membahagiakan,dan tokoh gio tidak benar2 ada..(ok)

Kanaya Martadjie said...

ditunggu aja ya, masih ada proyek lain nih :)