January 08, 2012

Harusnya Kau Pilih Aku



Kekasihmu tak mencintai, dirimu sepenuh hati
Dia selalu pergi meninggalkan kau sendiri

Elodie, masih terdiam dalam tangisnya. Ia masih meringkuk menahan kesakit-hatiannya. Sejak kedatanganku, ia belum bercerita apapun tentang perlakuan busuk apa lagi yang telah Devian, kekasihnya, lakukan padanya. Apapun yang aku bawakan tak menarik perhatiannya, teh hangat, camilan, apalagi buku salah satu mata kuliah yang tebalnya mencapai 500 halaman, pasti tidak akan menarik minatnya untuk bangkit dari keterpurukannya malam ini. Jika sudah begini, orang di sekitarnya, termasuk aku, akan mengalami kebingungan tingkat mahasiswa. Akhirnya, aku memain-mainkan boneka Elmo milik Elodie. Biasanya dia akan protes jika Elmo-nya mulai teraniaya di tanganku, namun kali ini dia benar-benar tidak peduli.
“Damn! Apa lagi yang harus aku perbuat?” batinku.

Handphone-ku berbunyi, Devian menelponku, dan aku abaikan. Demi apa dia hanya mengganggu proses penenangan orang galau bernama Elodie. Ya, memang Devian yang menyuruhku datang ke sini, ke tempat Elodie. Dengan polosnya tadi dia berkata, “Ta, tolong kamu ke tempat Odie ya, tadi aku buat dia nangis. Aku nyesel. Kamu tenangin dia dulu ya?”
Bukannya aku kesal karena dia meminta tolong padaku, tapi sudah kesekian kali Elodie harus menangis untuk hal dan kesalahan yang sama dengan pelaku yang sama. Itu pelakunya kelewat bego, atau gak kreatif banget, bikin kesalahannya itu-itu melulu. Tapi Elodie selalu menyediakan maaf untuk Vian, seperti Tuhan yang selalu memberikan oksigen kepada umat-Nya.
Handphone-ku berbunyi lagi,
“Gimana keadaan Odie, Ta?” suara Askar cemas.
“Masih gak mau ngomong dia, Kar. Aku bingung harus ngapain lagi.”
“Apa kita bawa ke dokter aja?”
“Sumpah ya. Odie cuma nangis, Askar. Ngapain sampe harus ke dokter?” aku gemas.
“Tapi kan…”
“Hahahaha. Askar bego!” gelegar tawa Elodie mengagetkanku.
Entah mengapa reflek jariku memilih mematikan telepon dari Askar. Aku masih tercengang dengan perubahan mood Elodie yang begitu drastis.
“Kamu masih waras kan, Die?” tanyaku heran.
“Harusnya aku yang tanya, itu si Askar masih waras? Hahaha.” Tawanya riang namun masih diringi sesenggukan sisa tangisnya.
Lalu malam itu aku, Askar dan Elodie menghabiskan waktu di jalan. Seperti biasa kami hanya berputar-putar tanpa tujuan yang jelas. Elodie bercerita banyak tentang kebohongan Devian. Sesekali dia menghembuskan napas yang berat seberat beban yang bertengger di pundaknya. Aku yang duduk di bangku belakang mobil Askar memilih menjadi pendengar dan pemberi semangat lewat tepukan lembut di pundak Elodie. Askar yang menyetir, seperti sudah terbiasa membagi konsentrasi antara berusaha memberikan tatapan mata nan lembut kepada Elodie dan memberi tatapan mata yang tajam untuk setiap senti jalan yang dia lewati.
“Kenapa Devian tega banget ya sama kamu.” geram Askar yang di jawab hening oleh Elodie, “Kalau saja aku ada di posisi Vian, gak bakal aku sia-siain kamu, Odie.”
Suasana hening menjadi makin hening.
“Kar… Please…” pinta Elodie memelas.
“Sorry…” satu jawaban dari Askar yang berkomposisi setengah dingin dan setengah sisanya rasa sesal.
“Ehmm… Ronde enak nih.” Ucapku berusaha mencairkan suasana. Mobil kami pun melaju dengan cepatnya ke warung ronde langganan kami, dengan suasana masih dingin.

Mengapa kau mempertahankan,
Cinta pedih menyakitkan
               
“Beneran deh, Ta. Aku enggak paham, kenapa Odie masih mau sama Devian. Sudah berapa kali kita mendengar tangisan Odie untuk alasan yang sama, kesalahan Devian yang sama.” Omel Askar suatu sore di kantin kampus.
                “Aku juga sebel sebenarnya. Tapi kita gak punya hak apapun untuk ikut campur urusan hati, kita mungkin berhak memberikan saran dan gambaran, tapi keputusan tetep ada di tangan Odie. Dan seharusnya sebagai sahabat kita hargai keputusan yang dia ambil, meskipun berbeda dari apa yang kita harapkan.”
                “Tapi keputusan yang dipilih Odie itu salah.”
                “Kita kan juga gak tahu pasti, keputusan yang dipilih Odie itu bener atau salah. Bahkan kita juga gak tahu saran yang kita beri untuknya membantu enggak. Tapi paling enggak, ketika dia gak pake saran yang kita beri, ketika dia jalan dengan keputusannya sendiri bukan berarti kita melepas dan membiarkan dia jalan sendiri gitu aja. Kita harus selalu ada di sampingnya sebagai sahabat, kalau-kalau dia hilang arah atau terjatuh kita sudah siap siaga membantu.”
                “Tapi aku tetep gak terima. Aku bisa bahagiain Odie lebih dari Vian.”
                “Then, kenapa Odie tetep milih bersama Devian daripada sama kamu, Kar? Bukannya itu berarti dia lebih bahagia dengan pilihannya saat ini, tetep sama Devian?”
                “Bahkan sepertinya Odie udah gak ngerti apa itu definisi bahagia.” Askar mulai geram.
                “Kar, you have to know that happiness is no need a definition, just keep it real and feel it.” Elodie yang ternyata sudah berdiri termangu di belakangku dan Askar. Sepertinya dia mendengar beberapa pembicaraanku dan Askar. Atau mungkin semua? Entahlah, yang jelas setelah mengucapkan filosofi tentang kebahagiaan itu, Elodie pergi.

Kau masih saja membutuhkan dia
Membutuhkan dia
               
Demi nilai akhir mata kuliahku, dosen ini sungguh memukau. Setiap pokok bahasan yang terpampang dihubungkannya dengan masalah yang sedang marak dibicarakan. Membuat kuliah siang ini menjadi asik untuk diikuti. Sayangnya Elodie tidak masuk hari ini, padahal biasanya yang menjadi teman diskusiku ketika di kelas. Memang kita jarang sependapat, namun itu yang membuat dia menjadi asik untuk diajak berdiskusi.
From: Askar
11-05-2010; 14.30

Ada kbr dr Odie gk? Hp dia gk aktif.
Ak khwtir. Perasaanku gk enak hr ini, Ta.

Oke. Aku masih ingin berkonsentrasi dengan kuliahku, dan memilih mengabaikan sms dari Askar.
From: Vian
11-05-2010; 14.44

Tata, lg dmn…? Lg sm Elodie enggak…?

Dua lelaki yang mencintai satu orang yaitu Elodie, dan selalu mengganggu satu orang pula, aku!
Maafkan aku bapak dosen yang ganteng, dua sms dari pecinta Elodie ini merusak konsentrasiku dan membuatku harus meninggalkan kelas detik ini juga.
Aku meluncur ke rumah kos Elodie. Memastikan kekhawatiran Askar hanya khayalannya saja, dan hilangnya Elodie hanya semu semata. Belum sampai masuk, Bella teman kos Elodie menghadangku di depan gerbang.
“Elodie lagi di rumah sakit, Ta. Ini barusan aku dari sana.”
“What??” mataku membelalak, merasa menjadi orang paling bodoh, “dia kenapa? Kok gak ada yang kasih kabar aku?”
“Tadi dia pingsan, tensinya rendah banget. Sorry banget gak bisa kasih kabar kamu, hp Elodie mati, dan pake password jadi kita gak bisa kasih kabar orang-orang terdekat Elodie.”
Setelah mendapat alamat dan ruang kamar Elodie, aku segera meluncur ke rumah sakit itu serambi memberi kabar pada Askar dan Devian, meski aku terlalu malas untuk berhubungan dengan Vian. Tapi bagaimana pun, Devian mempunyai hak yang kuat untuk mengetahui apapun keadaan Elodie.

To: Devian
11-05-2010; 15.01

Dev, Odie masuk RS. Dia pingsan.
Jgn tanya aneh-aneh dulu, aku jg masih perjalanan ke RSUD.
Ntar aku kabarin lg.

Setelah memerangi kemacetan jalanan dan menaklukan tempat parkir yang berbelit-belit akhirnya sampai juga di rumah sakit, aku melihat Askar sampai terlebih dulu dan duduk di luar ruangan tempat Elodie dirawat. Muka Askar kelewat khawatir menurutku.
“Udah dari tadi? Gimana Odie?”
“Lagi diperiksa sama dokter.”
“Oh…” belum sempat berkata apa-apa lagi, Devian menelponku. Dari suaranya dia begitu khawatir, dan seperti pengakuannya dia sedang dalam perjalanan menuju ke RSUD, Devian memang tinggal di kota yang berbeda dengan kami, maka dari itu ia memerlukan waktu yang lebih lama.
“Siapa, Ta? Devian?” tanya Askar geram.
“Iya, you know what you should do, Kar.”
“Apa? Pura-pura manis di depan dia. Pura-pura kita tidak menyalahkannya, Ta? Aku bosen! Udah waktunya dia dikasih pelajaran. Kamu gak lihat siapa yang jadi korban selama ini? Elodie, Ta! Dia temen kita!”
Friend who you fall in love with? Kamu mau kasih pelajaran apa? Matematika? IPA? Atau pelajaran lain yang aku tidak tahu? Apapun itu, Elodie gak bakal senang dengan caramu.” sindirku.
Askar diam. Tapi mukanya merah padam memendam amarah, kepalan tangannya mengeras sekeras rahangnya. Aku tahu, dia kesal, aku tahu betapa dia benci setengah hidup pada Devian. Aku juga! Tapi mungkin itulah mengapa hati tercipta begitu lunak, karena masalah hati tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan.
“Ada di antara kalian bernama Devian? Sedari tadi pasien mengigau memanggil nama tersebut.” tanya dokter yang baru keluar dari kamar Elodie.
“Dia masih dalam perjalanan, Dok.” Yang jelas setelah aku menjawab pertanyaan dokter tersebut, Askar sudah menghilang. Menyelesaikan urusan dengan emosinya mungkin.
               
Kau tak pantas tuk disakiti, kau pantas tuk dicintai
Bodohnya dia yang meninggalkanmu
Demi cinta yang tak pasti
               
“Ta, kamu enggak bosen dengerin ceritaku tentang Vian yang itu-itu melulu?” Elodie bertanya setelah satu sesi curhat.
Belum genap sebulan kepulangan Elodie pulang dari rumah sakit, dan kini Devian kembali berulah. Elodie mencium gelagat bahwa Devian main genit dengan wanita yang tak kalah genitnya. Sms dari dan kepada wanita-wanita genit itu terlalu intens, lebih intens dari sms mereka berdua.
“Bosen? Sekarang gantian aku deh yang tanya, kamu gak bosen apa disakiti Devian dengan kesalahan yang itu-itu melulu. Gak bosen apa memberi maaf tanpa ada perubahan yang pasti sama dari dia?”
“Ta, he’s not that bad. You just don’t know…”
Yes, I don’t know,” aku menyela, “setiap orang berhak menggunakan subjektivitasnya masing-masing, darl. And I just used my own. Sorry...” suaraku memberat.

Kau harusnya memilih aku,
Yang lebih mampu menyayangimu
Berada di sampingmu
               
Sore itu, Askar mengajak Elodie keluar, mereka jalan-jalan lalu makan malam. Seperti biasa Askar menuruti apa yang diinginkan Elodie. Bahkan menurutku Askar lebih hebat dari Jin milik Aladin, jin itu hanya dapat mengabulkan tiga permintaan, sementara Askar sudah tidak terhitung barangkali. Entahlah, enggan juga aku menghitungnya. Hahaha.
“Odie, kamu kenapa?”
“Apaan sih? Orang gak kenapa-napa juga.”
“Gak usah bohong sama aku ya, aku punya bakat gak bisa dibohongin,”
“Hahaha.”
So, please tell me why?”
“Aku putus sama Devian.”
“Halah, besok atau lusa juga balikan lagi. As usual.
No, Kar. Kali ini aku serius putus sama dia. Aku udah capek.”
What? Really?” Askar bingung mendeskripsikan perasaannya sendiri, antara senang, lega, namun juga sedih karena melihat mataharinya meredup. “Sorry, aku…”
“Kenapa? kamu senang?”
“Eh, bukan gitu maksudnya.” Dengan tidak profesional Askar mencoba menutupi kegirangannya.
“Udah deh, Kar. Gak usah munafik, kalau kamu seneng bilang aja, gak usah sok prihatin gitu.” Dada Elodie kembang kempis menahan emosinya. Dia sendiri tidak habis pikir, sebegitu bencinya sahabat-sahabatnya, terutama Askar, pada hubungannya dengan Devian.
“Oke, aku bahagia,” Askar menekankan pada kata bahagia, “akhirnya kamu bisa lepas dari orang kayak Devian. I’m happy because there’ll be no more tears because of Devian. You know, I’m always standing by your side anytime you need me, Odie.”
Kau harusnya memilih aku,
Tinggalkan dia lupakan dia
Datanglah kepadaku
               
Nama: Elodie, Usia: 20 tahun, Hobi: Menghilang!
Seriusan deh, aku tidak melihatnya berkeliaran di kampus. Sms dan telepon tidak ada yang direspon. Gimana kalau dia masuk rumah sakit lagi coba? Kan kemaren dia baru putus sama Devian, gimana kalau dia melakukan percobaan bunuh diri? Gantung diri mungkin, eh gak mungkin, Odie takut ketinggian. Duh, seriusan. Aku khawatir!
Bip.
From: Odie
23-08-2010; 13.45

Aku jalan-jalan dulu yee, mau ke kota akang nih.
Having problem solving, together.
Gak usah khawatir ya. Sun jauh. Muah! :*

Askar yang baru memunculkan batang hidungnya di depanku membelalakan mata selebar-lebarnya membaca sms dari Elodie. Lalu dia dengan sigap menelpon Elodie, dan sialnya yang dipakai menelpon adalah telepon genggamku. Begitu Elodie mengangkat telepon, Askar menceramahi dan sedikit memaki Elodie. Telingaku panas sendiri mendengar ocehan Askar.
“Mungkin kamu selalu melihat dari sisi ketika aku kesakitan bila tetap bersama Vian, tapi pernahkah kamu berpikir kalau aku akan mati ketika Vian meninggalkanku?” dari seberang telepon, Elodie menjawab dengan suara bergetar.
Askar terdiam. Mencoba mengerti dan mengendalikan emosinya sendiri.
“Odie, please don’t be stupid. You always love him who never loves you,” tegasnya. “Sementara aku di sini, selalu ada buat kamu, buat cintai kamu sepenuh hati.”  Askar menjadi memelas.
If you called her stupid because she loves somebody who never loves her back, then what should I call for someone who loves somebody who never gives love to him, like you? Kalian sama bodohnya, cinta kalian juga sama besarnya, but not to each other.” Aku menyahut, mengakhiri perdebatan.

                               
Song by:
Harusnya Kau Pilih Aku – Terry

No comments: