October 20, 2011

My Name's Kanaya

Hi my name’s Kanaya. Well, it’s not my real name, but… I like it!” kataku saat peluncuran buku pertamaku. Akhirnya setelah sekian lama menulis dan menulis di blog, Tuhan memberikan media yang lebih indah untukku menulis.
You know, it’s my first book. Di dalamnya ada berbagai kumpulan cerita pendek masih tentang cinta. Tapi bedanya adalah cinta yang aku tulis di dalamnya merupakan kumpulan cinta yang aku alami, baik secara langsung ataupun enggak.” Aku menjelaskan isi bukuku.
“Secara tidak langsung bagaimana, Mbak?” Tanya seseorang yang duduk di bangku paling depan.
“Yaa, dari cerita temen-temen saya. Dari apa yang saya lihat di sekitar, yang jelas. Cinta yang tertuang dalam buku itu benar-benar cinta yang berada di sekita saya.”
“Sejak kapan sebenarnya mbak suka menulis?” kata orang yang duduk di lain sisi.
“Ummm…” aku menarik napas sejenak, lalu menjawab.

***

Sebenarnya aku tidak pernah mencoba membuat cerita pendek (cerpen) karena aku merasa aku tidak mempunyai kemampuan itu. sedari SMA aku hanya mentok bikin puisi, itu pun tidak banyak pihak yang memuji puisi-puisiku. How sad!
Pertama kali aku tertarik untuk menulis cerita pendek ketika membaca sebuah karya dari penulis favoritku, Filosofi Kopi. Begitu buku itu ada di tangan tidak sedetik pun mataku lepas dari kalimat-kalimat yang terangkai menjadi satu kesatuan cerita nan indah. Namun, keinginanku masih bertabrakan dengan ke-pesimis-an diri. Aku merasa bahwa aku tidak akan mampu merangkai kata-kata menjadi sebuah cerita. Karena memang selama ini, ide-ide cerpenku hanya selesai sampai batas draft.
Lalu pada suatu malam, aku merasa ingin menumpahkan apa-apa yang ada di kepalaku. Jari-jariku menari begitu saja di atas keyboard, peduli setan majas-majas, kata-kata puitis. Targetku kali ini adalah membuat ideku tidak hanya berhenti pada draft. And in that night I finish my first story.
But honestly, cerita itu terinspirasi dari Serpihan Hati-nya Utopia. Aku memang suka lagu itu, lirik yang sederhana namun mampu mengubah rasa galau menjadi begitu kompleks. Setelah benar-benar selesai menulis, aku membaca ulang ceritaku, mengedit bila ada salah ketik atau ada kalimat yang tidak sesuai. Dan aku menikmati saat aku membaca ulang cerita pendekku, sama seperti saat aku menikmati membaca hasil karya orang lain. “Untuk sebuah karya pertama, not so bad lah.” Bisikku dalam hati.
Menulis cerita itu bagaikan candu ketika inspirasi sedang meluap-luap. Setelah karya pertama yang not so bad itu, aku lalu mulai mencari-cari cerita-cerita pendek. Mempelajari bagaimana mereka membuat cerita itu mengalir, menghidupkan karakter dalam cerita hingga mengajak pembaca terbawa suasana dalam cerita. Aku ingin bisa!
Aku juga terus berusaha menulis dengan kualitas yang lebih baik, hingga setidaknya ada tiga karya lain yang aku buat. Mereka hanya aku buat, tanpa pernah aku bagikan pada siapapun. Sebenarnya aku ingin mendengar kritik dan saran dari orang-orang, namun aku masih ragu, apa mau mereka menyempatkan waktu mereka hanya untuk membaca tulisan kelas amatir sepertiku? And I guess, No.
Setidaknya sebelum Mukji berada di tangan sahabatku. Oke, bagi kalian yang belum kenal, Mukji adalah nama laptop buluk kesayanganku, dia adalah hero-ku! Kembali pada cerita, aku (selalu) tanpa segan membuka-buka file-file dalam Mukji meski itu bersifat pribadi. Itu melanggar batas privasi, namun omelan macam apapun tidak akan menghentikan kemauannya. Seperti yang kalian duga, dia membaca cerpen-cerpenku.
“Ini kamu semua yang bikin, Qwa?”
“Yas, I did. Udahlah gak usah dibaca gak penting juga.”
“Heh! Aku sampe speechless baca ceritamu ndul. Ini keren tau.”
Dan mungkin ini yang dinamakan Wow Feeling ketika ada hal di depanmu yang membuatmu sangat terkesima hingga hanya ada kata “Wow” yang keluar dari mulutmu. Aku terkesima karena ternyata masih ada orang yang mau memperhatikan ke-eksistensi-an ku dan peduli dengan apa yang aku cipta. Aku kira, aku adalah Miss (Always) Invisible seperti yang selama ini aku rasa, hanya beberapa gelintir orang yang mampu merasakan kehadiranku dan menerimaku as who I am. Yang lainnya? Jangankan mereka tahu namaku, tahu keberadaanku pun tidak.
Sebenarnya dari pujian yang sahabatku sampaikan sudah cukup memupuk sedikit kepercayaan diriku. “Tapi kan itu cuma satu orang yang bilang bagus. Sahabatku sendiri pula.” Lalu aku menjadi kembali pesimis.
Aku melirik pada YM Messanger-ku di mana aku selalu menemuka orang yang tepat untuk diajak berdiskusi. Dengan sedikit berbasa-basi, akhirnya aku menyampaikan niatku untuk meminta saran dan kritik pada mereka tentang cerpen-cerpenku. Ada sekitar tiga orang waktu itu.
Responden1: “Hwaaaa…aku nangis bacanyaaa. Kereeen! Two tumbs up syngs. Ayoo bikin lagi ceritaa. Aku mau baca lagi. :)”
Responden2: “Sumpah ini yang bikin km qwa? Agak gak percaya sih. Tapi bagus ceritanya. Ini bukan basa-basi kok, beneran bagus. *asline gak tau moco cerpen :p”
Agak sulit mendapatkan komentar dari responden ke tiga, karena jam terbang orang itu terlampau tinggi, atau dia yang sebenarnya meninggikan jam terbangnya. Dia memberikan komentar tentang cerpenku setelah tiga hari berselang sejak aku kirimkan cerita itu padanya.
Responden3: “Bagus sih. Tapi alurnya loncat-loncat dikasi bates donk. Terus di part si cewek beli baju, kalimatnya terlalu banyak yg diulang-ulang. Dan kenapa ini ending-nya nggantung?”
Demi Mukji yang selalu setia menemaniku menulis, rasanya ingin memakan orang itu hidup-hidup. Tiga hari bukan waktu yang sebentar untuk menanti, aku bahkan lebih gugup dibanding seseorang yang menunggu cintanya terjawab. Parahnya setelah ia memberika komentar, negatif yang aku dapat. “Uuuurgh!”
But, hey! Bukankah itu yang aku cari? Pendapat, saran, dan kritik. Bukan pujian. Dan segala emosi negatif segera aku singkirkan dan lekas berterimakasih pada Responden3. Panggilah dia Kumaro, karena setelah malam itu, dia menjadi konselor tempat aku meminta saran dan pendapat tentang karya-karyaku.
***

“Lalu nama Kanaya itu berasal darimana?” selidik wanita berjilbab biru di bagian tengah.
“Kanaya itu berasal dari gabungan dari nama orang tua saya, Mbak. Dan Martadjie, itu nama almarhum kakek saya. Itu sebagai tanda betapa saya sangat menyayangi beliau dan mengharap restu dari beliau.” Jawabku setengah asal.
Namun sebenarnya…
Waktu itu sebenarnya aku sedang menonton televisi dengan teman-teman satu kos. Lalu entah darimana perbincangan ini dimulai, kami membicarakan tentang nama yang indah. Tiba-tiba saja terlintas, “Kanaya itu keren ya namanya. Coba aja namaku bisa diganti, aku milih Kanaya aja deh.” Ucapku asal disambut dengan gelak tawa teman-teman lain.
Malam harinya, responden 3 yang bersosok Kumaro, yang juga merupakan konselorku dalam membuat cerita pendek, menghubungiku lewat YM Messanger.
Kumaro_maro : “Eh, km masih suka bikin cerpen gk?”
Me                   : “Iya sih, tapi lagi no inspiration sebenernya. Kenapa emg?”
Kumaro_maro : “Aku minta satu donk, buat ngisi blog-ku :)”
Me                   : “Oh gt. Boleh sih. Tapi no deadline ya. :)”
Kumaro_maro : “Sip sip.”
Seumur-umur baru kali ini ada yang meminta langsung untuk membuatkannya cerpen untuk mengisi blog-nya. Aku merasakan Wow Feeling lagi. Tapi kali ini dengan seulas senyum di wajahku. Seorang Kumaro meminta sebuah cerpen hasil karyaku. Well, aku tidak bisa berbohong, aku mengaguminya. Dan menurutmu bagaimana perasaanmu ketika seorang yang kamu kagumi meminta hasil karyaku? Pasti kalian merasakan Wow Feeling.
Setelah beberapa hari, bulan lebih tepatnya aku mengirimkan hasil tarian jari-jariku ke email Kumaro. Tidak seperti ketika aku meminta pendapat dan respon tentang cerpen-ku kali ini Kumaro langsung mengomentari cerpen-ku.
Kumaro_maro : “eh, cerpenmu keren, Qwa. Bener-bener bagus. :D”
Me                   : “Udah lama tuh aku keren :p”
Kumaro_maro : “hahaha. Btw, aku kasih nama siapa nih? Jangan Qwa, gak menjual :p”
Me                   : “Lhah. Terus aku pake nama apa coba?”
Kanaya. Nama itu langsung terlintas di pikiranku. Kalau ada kesempatan untuk memakai nama itu, kenapa aku tidak manfaatkan. Semoga membawa barokah.
Me                   : “Pake nama Kanaya aja, Kum. :)”
Kumaro_maro : “Sip. Kanaya aja nih?”
            Dalam hati aku berdoa, “Yangkung sayang, aku boleh pake namanya ya. Soalnya aku sayang banget sama yangkung, dan biar yangkung kuinget terus di setiap hariku. Terimakasih yangkung, udah boleh pake namanya. Love you. Muuuah.”
            Me                   : “Kanaya Martadjie, please.”
           
            5 minutes

            10 minutes

            15 minutes

27 minutes

Kumaro_maro  : “Already posted! :D Check dulu deh, Qwa. Kalau kekurangan, bilang aja ya. Anyway, salam kenal Kanaya. :)”


Dear Kanaya,
I’m proud of being you.
Wish you luck.

Sincerely, Qwa

3 comments:

eno said...

mau baca cerpennya dong Kakaaaak :">
btw saya ndak mudeng dengan postingan ini /bricked
:P

Kanaya Martadjie said...

mau baca cerpen yang mana nih? banyak soalnya :p
eh, kalimat baris terakhir di komen-mu apa ya? kok gak kebaca? :p

eno said...

mau baca yang katanya temen-temen Kakak bagus dooong :">
baca semua juga ndak apah-apah hihihi