February 18, 2014

Duhai Ibu Pertiwiku


Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati
Air matamu berlinang, mas intan yang kau kenang
Hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan

Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa. 

                                                                                  -Ibu Pertiwi

Itu sebagian lirik dari lagu berjudul “Ibu Pertiwi.” Lagu yang pernah aku nyanyiin untuk acara 17-an di desaku. Karena itu pula aku menjadi harus menghapal lirik lagunya. Untuk ukuran anak kecil, bahasa yang digunakan memang agak rancu. Aku sih waktu itu banyak nggak pahamnya sama lirik lagu tersebut.

Seiring berjalannya waktu, pertanyaan-pertanyaan itu menghilang dari pikiranku. Aku menjadi tidak peduli dengan ‘siapa’ ibu pertiwi, atau mengapa si-ibu bersusah hati, dan lain-lain.

Justru jawabannya hadir ketika aku berhenti bertanya.



Aku pernah dengar kalau di sebelah timur Indonesia, tepatnya di pulau Papua terdapat gunung emas. Waktu itu aku berpikir bahwa Indonesia keren! Ya, Indonesia memang keren karena memiliki harta bumi yang melimpah. Namun, dengan adanya gunung emas tersebut, Indonesia juga mengundang sumber daya manusia yang katanya mau mengolah gunung emas tersebut. Alih-alih mengolah, mereka megeksploitasi. Seharusnya kan gunung itu cembung ya, kabar terakhir yang aku dapat gunungnya sudah menjadi cekung. Sedih. Sedih banget! 

Dari artikel yang aku baca, ternyata kawasan gunung emas ini dimiliki oleh perusahaan asing. Perusahaan tersebut telah 'berjaya' menguasai kawasan gunung emas tersebut selama 42 tahun. EMPAT PULUH DUA TAHUN! Dan Indonesia nggak bisa berbuat banyak, keuntungan yang didapat pun juga nggak banyak. 

Next,
Dari judulnya aja harusnya sudah menggambarkan isi beritanya ya. Kalimantan memang terkenal dengan sumber daya batubara yang melimpah ruah. Manusia yang katanya memiliki akal pikiran pun mencoba untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut. Namun, ternyata fokus manusia-manusia berakal pikiran tersebut hanya sebatas, bagaimana memanfaatkan batubara? Kenyataannya, yang mereka lakukan membuat lingkungan sekitar tambang menjadi rusak.  Dari artikel tersebut digambarkan bahwa terjadi pencemaran lumpur dan air yang mengandung zat-zat beracun. Belum lagi pengrusakkan hutan untuk membuka jalan menuju tambang. Dengan rusaknya hutan secara langsung maupun tidak langsung akan merusak habitat flora dan fauna yang ada di Kalimantan. 

Beberapa sumber mengatakan bahwa aksi penambangan ini terjadi atas ijin pemerintah yang meneruma suap dari perusahaan-perusahaan tambang. 

Dan hal yang paling bikin sedih adalah, 


Kalau mendengar kata Hiu, yang terbayang adalah gigi taring yang super runcing, besar, dan jahat. Sekarang kalau mau jahat-jahatan, siapa yang lebih jahat? Hiu atau pemburu hiu? 

Manusia katanya memiliki hati nurani? Tapi... dari artikel yang aku baca, ada sekitar 100 ekor hiu dan pari yang dilelang di pasar SETIAP HARI. Waw... Amazing! Itu belum termasuk bayi hiu yang cuma dijual kiloan kayak jual ikan biasa. Apa hiu juga memangsa manusia sebanyak itu setiap harinya? Belum lagi, mereka juga menggunakan lumba-lumba sebagai umpan untuk mendapatkan hiu. 

Jangan menjatuhkan sepenuhnya kesalahan pada nelayan-nelayan yang menjaring hiu. Mereka hanya nelayan biasa, yang pekerjaannya menangkap ikan di laut. Kebanyakan dari mereka menangkap hiu karena terbelit hutang pada rentenir, kemudian rentenir menyuruh nelayan melunasinya dengan berburu hiu. 

Logisnya, nelayan nggak akan berburu hiu kalau nggak ada penampung yang berani bayar tinggi. Penampung itu nggak akan memaksa nelayan berburu hiu kalau nggak ada konsumennya. Nah, konsumennya ya mereka-mereka yang kalangan atas itu lho. Kenapa kalangan atas? Karena masakan yang berhubungan dengan hiu harganya selangit. 


Mungkin kita sebagai manusia memiliki niat yang bagus, dengan memanfaatkan karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi seperti hukum aksi dan reaksi, ketika kita menerima sesuatu hendaknya kita juga memberi yang lebih dari sesuatu. 

Dari jawaban-jawaban yang aku temukan, aku jadi ingat tentang pertanyaanku. 
"Kenapa Ibu Pertiwi bersedih dan berlinang air mata?"
Maafkan kami, Ibu Pertiwi. 

No comments: