Akhirnya punya waktu buat update blog! :D
Harusnya bisa upload tulisan ini bulan april lalu, karena bulan april adalah bulan kesadaran mengenai autisme. Nah, aku pernah iseng-iseng nyoba masukkin kata “autis”
di search engine dalam twitter? Kurang lebih hasilnya seperti ini:
@iiiiirp udah beli kuota jadi autis
hua *)
@momomo Semakin
canggih gadget lo maka semakin autis diri lo . Ngik! *
@nggeelaa Book marathon. Autis everyday *)
@cabecabean TRIO AUTIS
UKID UPID UCID 1 MAMAH CABEAN BUCEH YESSHH *)
*) Note: nickname yang digunakan dalam artikel ini hanyalah karangan
penulis bekala, namun tulisan yang diucapkan sesuai dengan aslinya tanpa
mengubah sedikitpun.
Lucu? Buat aku itu pemandangan yang bikin ati keiris.
Karena
Twitter bukan satu-satunya jejaring sosial, so , aku pun mencoba hal yang sama
di Instagram. Dengan menggunakan #autisme, hasilnya nggak jauh beda dari
twitter. Isinya foto-foto yang sebenarnya tidak menggambarkan apa itu
sebenarnya autisme.
AUTISME.
Sangat sering kita dengar bukan? Terlebih ketika meledaknya gadget canggih
bernama blackberry. Kemudian
masing-masing orang mulai sibuk dengan gadget masing-masing sehingga tidak
memperdulikan sekitarnya. Hal tersebut kemudian yang dilabel dengan autisme.
Semakin lama, orang-orang menggunakan kata autisme tersebut tanpa mau
mempelajari lebih dalam apa sebenarnya arti autisme.
Emang mereka ngga cari tahu apa itu autisme?
Lho,
mereka cari tahu, namun dari pihak-pihak yang juga tidak tahu autisme secara
mendalam. Mereka hanya mendefinisikan, autisme adalah ketika kamu terlalu asik
sama suatu hal, memiliki duniannya sendiri. Lalu dengan mudahnya mereka
mengeneralisasikan dengan pemikiran: ketika ada seseorang yang tengah asik
melakukan suatu hal, sampai dipanggil aja ngga noleh, dia autisme! Salah? Engga
kok, kalau itu tadi menjadi satu-satunya definisi autisme.
Gangguan
autisme adalah ketidakmampuan anak berkembang dengan baik, yang ditandai dengan
terganggunya perkembangan dalam interaksi sosial, dan komunikasi (Quinn &
Malone, 2000). Kalau mau dikaitkan dengan kasus di atas, memang sepertinya
orang yang terlalu asik dengan gadget atau benda lainnya tanpa memperdulikan
lingkungan lain adalah orang dengan gangguan autisme.
Sayangnya,
itu bukan satu-satunya yang menjadi patokan gangguan autisme. Anak yang
memiliki gangguan autisme memiliki kesulitan dalam membangun hubungan yang
sesuai dengan teman sebaya (Frith, 1993) dan anak dengan gangguan autisme
menunjukkan keragaman perilaku yang merusak atau melakukan perilaku yang
diulang-ulang (Mundy & Sigman, 1989), serta perilaku yang cenderung
menyakiti diri sendiri (Bromley, dkk, 2004 dalam Koydemi & Tosun, 2009).
Emang kalau keasikkan pegang gadget
bisa langsung di claim autisme?
Anak
dengan gangguan autisme memang karakter utamanya adalah berpusat pada diri
sendiri, mereka seperti memiliki dunia sendiri. Mungkin gadget adalah salah
satu keasikan yang dimiliki anak dengan gangguan autisme, tapi apa bisa
dikatakan bahwa semua orang yang asik dengan gadget merupakan anak autisme?
Tentu tidak. Penyebab autisme bukan karena terlalu asik pegang gadget, buku,
atau selfie. Autisme dapat disebabkan karena penyebab biologis, yaitu adanya
kerusakan sistem syaraf pusat, sehingga muncul perilaku penarikan diri dan
ekspresi yang datar pada anak yang memiliki gangguan autisme (Rooney, 2005). Autisme
juga dapat disebabkan oleh warisan genetik dari keluarga terdahulu, bisa juga
disebabkan karena sikap orang tua yang acuh tak acuh dan kurang memberi kasih
sayang terhadap anaknya.
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa autisme terjadi karena adanya gangguan pada sistem
syaraf pusat, warisan genetis, maupun kurangnya kasih sayang dari orang tua.
Masih banyak penyebab autisme lainnya, yang jelas bukan karena terlalu sering
memegang gadget.
Satu
lagi, autisme didefinisikan sebagai cacat perkembangan secara kompleks seumur
hidup, yang biasanya muncul sejak TIGA TAHUN PERTAMA USIA BAYI dan mempengaruhi
cara seseorang berkomunikasi serta berhubungan dengan orang lain. (Bogdashina,
2006).
Aku
apresiasi bagi kalian yang mau mencari informasi tentang autisme sebelum
menggunakannya dalam konteks yang tidak tepat. Autisme itu bukan sebuah
lelucon, bukan juga sebuah label yang bisa direkatkan pada siapa saja yang kita
mau. Autisme bukan sebuah keanehan, namun perbedaan. Sama halnya dengan ada
rambut yang lurus, keriting, dan berombak; ada kurus dan gemuk; ada kucing dan
anjing. Tidak ada yang lebih baik satu dengan yang lain, semua memiliki
perbedaan, semua memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Begitu juga
autisme.
“Bagi
penyandang autisme, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain bukan hal
yang mudah. Keterbatasan verbal, perbedaan logika dan cara berekspresi membuat
penyandang Autisme tampak aneh. Namun, bukan berarti mereka tidak mampu. Autism
is just different, not less” (ASA, 2014)
Aku
menganggap kalian yang mampu membaca artikel ini adalah orang-orang yang mampu
berpikir secara integratif dan memiliki empati tinggi sehingga dapat membantu
menghentikan penggunaan label autisme pada konteks yang tidak sesuai. Tidak
hanya autisme, sebelum kalian menggunakan sebuah kata/label/apa pun itu,
pastikan kalian mengetahui apa artinya.
Surabaya, 02 Juni 2014
Kanaya M.
No comments:
Post a Comment